These are my photos collection when journey to South Coastal (Pesisir Selatan) of West Sumatera.
Feel Peace With the Wound
Posted in Momentous Experience with tags Accident, Decay, Feel peace with the wound, Heave, Hell, Standard, Taught, Wound on May 14, 2015 by Yul Prince Vartan HyzharI almost decay
Rotten outside
Dying inside
After kissing the road
After kissing the asphalt
This is not a love song
But this is a true story
Yeah, I almost decay
Rotten outside
Dying inside
After kissing the road
After kissing the asphalt
That’s really the most horrible night
That’s really the most painful night
Jumping to the air before landing with my bare palms
I felt I’m in heaven when jumping
But I felt I’m in hell when landing
What a bloody night
Yeah, I got accident at that night
With a friendly machine actually
But my egoism made me humiliate myself
Somehow, that’s also becoming a full of wisdom night
At least, the accident taught me something
Do not lower your safety standard in any circumtances
Do not lower your goodness standard in any circumtances
But lower your stupidity in any circumtances
But lower your arrogance in any circumtances
And hold your idealism in a proportional circumtances
Now, I just feel peace with the wound
Because there’re too many big damn things to think than just the physically pain
Now, I must feel peace with the wound
Because there’re too many big damn things to think than just the scary wounds
… just feel peace with the wound
***
[Seri Akhir Zaman] Paradoks 2
Posted in Akhir Zaman, Bahasa Indonesia, Islamic Holy Spirit with tags Akhir Zaman, Akhirat, Neraka, Paradoks, Surga on March 27, 2015 by Yul Prince Vartan HyzharMendamba “Surga” Menuai “Neraka”
SIAPA yang tak mendambakan kehadiran keluarga yang harmonis dan romantis? Siapa yang tak ingin setiap waktu berlalu senantiasa dihiasi dengan rasa cinta dan kasih sayang? Siapa yang tak ingin bila ada problematika keluarga, langsung bisa diatasi dengan suasana cair dan bersahabat? Siapa yang tak mengharap bila ada api kemarahan yang membakar, langsung didapatkan kesejukan air yang memadamkan? Siapa yang tak ingin jika semua putra-putrinya menjadi penyejuk jiwa dan permata hatinya? Siapa yang tak harap jika semua anggota keluarganya menjadi ahlul Qurân ? siapa yang tak mendamba hadirnya sakinah-mawaddah-rohmah dalam hidupnya?
Tak diragukan lagi, siapa saja pasti mendambakan itu semua. Siapa saja pasti berharap suasana “surga dunia” ada di rumahnya. Namun, mungkinkah dan kapankah hal itu bisa terwujud? Bisa jadi upaya menggapai keharmonisan keluarga bak pungguk merindukan bulan –hanya sekedar impian kosong yang tak kunjung tiba-. Sebenarnya harapan itu semuanya bukanlah khayalan dan fatamorgana. Bukan pula angan-angan autis yang jauh menerawang. Tidak perlu pula bersikap underestimate dalam upaya meraihnya.
Sungguh disayangkan, sebagaian besar orang berusaha untuk mewujudkan keluarga surgawi dengan cara bersungguh-sungguh dalam menumpuk kekayaan dunia yang fana, namun yang terjadi justru kebahagiaan keluarga sering menjadi “tumbal”. Hal ini dipicu karena adanya anggapan yang keliru bahwa kekayaan materi adalah kunci kebahagiaan keluarga. Padahal dalam kenyataan tidak demikian. Betapa banyak orang yang bergelimang harta namun keluarganya berantakan. Sebaliknya, tidak sedikit keluarga yang tak berkecukupan namun rumah tangganya bernuansa “surga.”
Seringnya kita lalai bahwa ketinggian asa dan cita yang diharapkan haruslah diimbangi dengan besarnya usaha dan mujahadah untuk mewujudkannya. Sering kita berdoa : رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Namun sehari-hari keributan rumah tangga seakan-akan telah menjadi tradisi. Tidak ada yang salah dalam untaian doa itu, yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana kita berupaya merealisasikannya. Harapan untuk mendamba surga sering kali tak diiringi amalan-amalan surgawi, justru amalan yang terjadi adalah bertolak belakang dengan cita-cita, maksud hati mendamba “rumahku surgaku” namun yang terjadi adalah “rumahku nerakaku” –wal’iyaadzu billah-.
Cinta berhias durhaka
Awal menjalin hubungan cinta merupakan garis start penentu arah dalam pembinaan rumah tangga. Akankah rumah tangga yang dibina menuju keridloan Allah ataukah kemurkaan-Nya. Namun sering kali awal permulaan ini dianggap bukan suatu hal yang penting dan sering kali diremehkan.
Sering kali kita dapati bahwa banyak yang menjalin cinta dengan cara pacaran. Bahkan di era globalisasi saat ini pacaran telah membudaya dan menjadi bagian hidup kaum muda. Tak ketinggalan pula kalangan orang tua juga turut berpartisipasi dalam memasyarakatkannya. Sering mereka latah dengan ungkapan Tanya kepada anak muda yang dijumpainya : “Sudah punya pacar apa belum?”.
Mereka berdalih bahwa pacaran adalah ajang untuk saling kenal dan memahami calon “pasangan”. Dengan pacaran, kadar kedalaman cinta “sang calon” bisa diukur dan diuji. Berangkat dari alasan inilah, kita dapati banyak kaula muda yang berpacaran sudah bertahun-tahun namun juga belum menikah.
Padahal, jika kita perhatikan dan amati, pacaran merupakan ajang saling menipu dan berbohong. Pacaran adalah sebuah dusta atas nama cinta. Bagaimana tidak? Hal itu bisa dibuktikan bahwa tatkala janjian kencan, masing-masing pihak berupaya untuk menghias diri dengan hiasan yang sebenarnya tidak mencerminkan jati dirinya yang sesungguhnya. Tidak jarang mereka memakai “topeng” dalam rangka menutupi kekurangan-kekurangan dirinya. Ditambah lagi, obral janji-janji kosong dan kata-kata manis yang sering menjadi hiasan pembicaraan ketika kencan.
Mereka pun beranggapan bahwa dengan pacaran pula kekurangan-kekurangan dari “sang calon” dan ketidak-cocokan darinya bisa terkuak. Padahal jika disadari, mana ada orang yang tidak memiliki kekurangan, mana ada orang tidak luput dari ketidak-cocokan dengan orang lain, apakah setiap orang dalam setiap saat bisa berserasi dengan yang lain? Tentu ini adalah perkara yang mengada-ada.
Tidak sadarkah mereka kalau pacaran adalah muqoddimah dari perbuatan zina? Tidakkah mereka sadar bahwa di saat berduaan maka syaithonlah yang menjadi teman mereka? Rosululloh -صلى الله عليه وسلم- bersabda :
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطُانُ
“Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita melainkan pihak ketiganya adalah syaithon”. (HR. Tirmidzi)
Kalau syaithon telah menjadi pihak ketiga bagi mereka, lalu apa kiranya yang hendak ia sarankan untuk mereka yang sedang berduaan? Tidak lain dan tidak bukan adalah mengambil kesempatan untuk mengajak sesuatu yang “lebih berani” dari sekedar berduaan. Mulai dari kata-kata manis, berlanjut dengan saling bergandengan tangan, kemudian berpelukan, dan seterusnya. Hingga akhirnya mereka terbawa ke lumpur dosa zina. Oleh karenanya, Allah ta’ala telah mengharamkan segala perbuatan yang menjurus kepada zina dengan firman-Nya :
﴿وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا﴾
“Dan janganlah kalian mendekati zina, (zina) itu sungguh suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (Al Isro’ : 32)
Hakikatnya semua yang dilakukan ketika pacaran adalah rangkaian zina yang diharamkan. Sebagaimana sabda Nabi -صلى الله عليه وسلم- :
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنْ الزِّنَا أَدْرَكَ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ فَزِنَا الْعَيْنِ النَّظَرُ وَزِنَا اللِّسَانِ الْمَنْطِقُ وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي وَالْفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas anak adam bagian dari (dosa) zina, dirinya pasti mendapatinya, maka zinanya mata adalah memandang, zinanya lisan adalah berbicara, dan nafsu berangan-angan serta berkeinginan, dan kemaluan membenarkan itu semua atau mendustakannya”. (HR. Bukhori)
Setelah keduanya bisa saling “menikmati”, ternyata belum tentu juga membawa jalinan cinta mereka menuju jenjang pernikahan. Bahkan ketika salah satu dari keduanya merasa bosan, maka dengan semena-menanya mencampakkan yang lain dan menganggap hubungan cinta di antara mereka berdua telah putus. Inilah kejahatan pacaran yang sesungguhnya.
Bagi mereka yang “berhasil” melanjutkan pacaran ke jenjang pernikahan beranggapan bahwa pernikahan yang mereka lalui dan kehidupan rumah tangga yang akan dijalani terasa semakin mesra dan harmonis. Padahal yang terjadi adalah rasa hambar dan kebosanan dikarenakan mereka telah bergaul sekian lama. Mereka memandang pasangan mereka tak ubahnya seperti teman sendiri yang telah dikenal.
Kalaupun mereka masih merasakan kemesraan, tentunya kemesraan yang dibangun atas dasar jasmani semata. Sementara ketika umur telah memudarkan kecantikan dan ketampanan mereka, saat itu pula benang-benang cinta pun mulai memudar. Inilah kemesraan yang semu.
Lebih dalam lagi, ketika kita menyadari, bahwa memulai rumah tangga dengan pacaran adalah seperti halnya memulai amalan yang mulia dengan amalan yang hina. Hakikatnya jalinan cinta ternodai dengan zina. Maka bagaimana mungkin sakinah-mawaddah dan rohmah akan senantiasa menghiasai rumah tangganya, sementara ibadah yang agung nan sakral diawali dengan kemaksiatan dan kedurhakaan kepada Sang Kholiq. Inilah cinta yang berhias durhaka. -wallaohul musta’aan-
Sayang tapi mencelakakan
Dalam kehidupan berumah tangga, terkadang kita terlalu berlebihan dalam mengungkapkan kasih sayang. Dalam ungkapan lain, sering kita berlaku sayang tidak pada tempatnya. Ungkapan sayang yang diberikan hanyalah kasih sayang yang semu.
Kasih sayang yang tidak berlandaskan ketaatan kepada Allah dan Rosul-Nya.
Hal itu nampak tatkala rasa sayang kita kepada istri atau sebaliknya kepada suami atau bisa juga kepada anak menjadi penghalang untuk menunaikan kewajiban dan menjalankan ketaatan. Sebagai contoh dalam hal ini adalah terkadang kita merasa iba dan belas kasihan kepada anggota keluarga untuk dibangunkan di penghujung malam (waktu shubuh) demi menjalankan perintah sholat.
Dalam kenyataan lain, ungkapan sayang yang memanjakan terkadang menjadikan diri kita orang yang lebih mencintai anggota keluarga kita dari pada cinta kepada Allah dan Rosul-Nya. Sementara Rosululloh -صلى الله عليه وسلم- bersabada berkenaan dengan karakteristik orang yang mendapat kesempurnaan iman dan kelezatannya :
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّار
“Tiga perkara yang barang siapa tiga perkara ini ada padanya, ia mendapatkan manisnya iman : menjadikan Allah dan Rosul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya, mencintai seseorang karena Allah dan membenci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana ia membenci untuk dilemparkan ke neraka”. (HR. Bukhori)
Tidakkah kita teringat kepada peringatan Nabi Muhammad -صلى الله عليه وسلم- kepada sahabatnya yang mulia Umar bin Khotthob -رضي الله عنه- tatkala beliau berkata : “Wahai Rosululloh, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku”. Lalu Nabi -صلى الله عليه وسلم- menjawab : “Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, hingga aku lebih engkau cintai dari pada dirimu”. Kemudian Umar -رضي الله عنه- menjawab : “Demi Allah, sekarang engkau lebih aku cintai dari pada diriku sendiri”. Nabi -صلى الله عليه وسلم- menimpali : “apakah baru sekarang, waha Umar?!” (HR. Bukhori)
Sering pula ungkapan sayang yang keluar dari diri kita terhadap salah satu anggota keluarga kita menjadi sebab masuk ke neraka. Sebagai contoh dalam masalah ini ketika kita memberikan kebebasan kepada istri untuk bersolek dan menampakkan keindahan tubuhnya kepada orang lain dengan berdalih bahwa apa yang dibebaskan adalah rasa kasih sayang kepada istri. Padahal bila dipikirkan sejenak, hal ini adalah bagian dari tindakan dayuts (tidak ada kecemburuan), sementara Rosululloh -صلى الله عليه وسلم- bersabda :
لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ دَيُّوْثٌ وَلاَ مُدْمِنُ خَمْرٍ وَلاَ رَجُلُةُ نِسَاءٍ
“Tidak masuk surga laki-laki dayuts, tidk pula para pecandu khomer dan tidak masuk surga pula wanita berperilaku laki-laki”. (HR. Abdur Rozaq)
Terkadang pula kita membiarkan anak gadis kita keluar rumah tanpa menutup aurat (tidak berjilbab). Berdalih sayang kepadanya karena ia masih muda dan ingin seperti teman sebayanya yang menikmati keceriaan usia remaja, sayang kalau nantinya ia tidak bisa bergaul sebagaimana temannya lain. Tentunya ini adalah kasih sayang yang menyesatkan, kasih sayang yang berujung pada murka Allah, karena telah meninggalkan perkara yang diwajibkan oleh Robb semesta Alam.
Kondisi yang lebih parah lagi tatkala kita menghalangi suami atau anak kita untuk bersama turut serta dalam amar ma’ruf-nahi munkar, berdalih dengan rasa sayang terhadap mereka agar mereka tidak mendapatkan resiko ataupun ancaman-ancaman buruk yang bisa menimpa mereka. Padahal rasa sayang seperti ini adalah bagian dari hembusan syaithon untuk menghalang-halangi seseorang memberikan loyalitas sepenuhnya kepada Allah dan Rosul-Nya.
Hendaknya kita menauladani sosok wanita mulia yang bernama Khonsa’ -رضي الله عنه- yang dengan rasa kasih sayangnya, beliau telah berhasil menghantarkan putra-putranya meraih gelar syuhada’ dalam peperangan Qodisiyah. Tatkala berita gugurnya keempat anaknya sampai ke telinga Khonsa’, ia justru berucap; “Segala puji bagi Allah yang telah memuliakan dengan kematian mereka. Aku berharap kepada-Nya agar mengumpulkanku bersama mereka dalam naungan rahmat-Nya”.(Al Istî’â fî ma’rifatil ashĥâb, juz 2 hal 90-91)
Demikianlah kasih sayang yang sesunguhngya. Kasih sayang yang mengungkapkan ketidak-relaan jika anggota keluarganya keluar dari ketaatan menuju kemaksiatan. Bukan dikatakan sayang, jika akhirnya berujung pada murka Allah dan jilatan panas api neraka.
Mendidik tapi sering menghardik
Tidak dipungkiri bahwa pendidikan keluarga merupakan instrument terpenting dalam mewujudkan “rumahku surgaku”. Orang tua dalam hal ini memiliki peranan sentral dalam membentuk kepribadian putra-putrinya menjadi pribadi-pribadi mukmin-mukminah yang berkarakter.
Namun sering pula langkah dan usaha kita dalam mendidik mereka bertolak belakang dengan cita-cita yang didamba. Sering kali orang tua hanya bisa menuntut kebaktian sang anak, namun belum pernah ia sampaikan makna berbakti. Sering pula orang tua menuntut untuk ditaati, namun sering pula mereka mengajarkan untuk saling mengkhianati. Sering pula berdalih mendidik, namun hakikatnya hanya sekedar menghardik. Sering pula menuntut ketaatan, namun belum pernah memberikan tauladan.
Sering kali kita mengharap istri kita sholihah, namun tak pernah kita ajarkan hakikat syahadat. Sering pula kita mendamba suami yang ‘alim dan bisa menjadi pembimbing keluarga, namun yang terjadi justru disibukkan dengan tuntutan materi sehingga nyaris tidak ada waktu untuk tholabul ‘ilmi. Sering pula kita mengharap anak-anak pandai mengaji dan menjadi ahlul qurân, namun seringnya kita bekali mereka dengan music dan kebendaan.
Dalam kenyataannya, banyak di kalangan kita yang lebih bangga kalau anaknya jago matematika meskipun tidak bisa membaca Al Qurân. Terkadang pula kita lebih memprioritaskan pendidikan umum dari pada pendidikan agama. Padahal, jika diamati dan diperhatikan pendidikan agama jauh lebih penting dari pada sekedar pendidikan umum yang hanya bersifat lifeskill atau hanya wawasan intelektualitas semata. Karena sesungguhnya pembangunan karakter dan kepribadian baik adalah bersumber dari pendidikan agama.
Betapa banyak contoh di masyarakat yang memiliki IQ tinggi dan berprestasi dalam akdemiknya namun berkarakter dan berkepribadian lemah. Sehingga mudah sekali tergelincir dalam kemaksiatan. Hal itu diakibatkan lemahnya tarbiyah rûhiyah yang menjadi penompang akhlaq sekaligus menjadi penimbang baik-buruknya suatu perbuatan.
Dengan mendidik anggota keluarga, diharapkan agar mereka mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajiban setiap individu. Sehingga terciptanya suasana yang menjunjung tinggi hak-hak orang lain. Dengan demikian, interaksi dalam internal keluarga berjalan dengan baik.
Dari sini, sudah bisa dipastikan bahwa pembentukan angota keluarga yang berkarakter mukmin-mukminah menjadi dasar dari terwujudnya baiti jannati. Tanpa tarbiyah keluarga rasanya impian menghadirkan sakinah-mawaddah-rohmah adalah menjadi impian kosong. Tanpany pula, dambaan hadirnya kerdihoan Ar Rohman di tengah kehidupan berumah tangga berubah menjadi laknat, keharmonisan berubah menjadi pertikaian dan bisa jadi harapan mendapat surga berubah menjadi ancaman siksa neraka –wal’iyâdzu billah-
Semoga Allah ta’ala memberikan taufiq dan hidayah-Nya agar kita bisa memikul tanggung jawab membina keluarga menjadi keluarga berkarakter Islam. Wallohu a’lam.
***
Sumber: Islampos.com
[Seri Akhir Zaman] Paradoks 1
Posted in Akhir Zaman, Bahasa Indonesia, Islamic Holy Spirit, Spiritualism with tags Akhir Zaman, Akhirat, Islam, Paradoks on March 27, 2015 by Yul Prince Vartan HyzharParadoks dan Neraca Akhir Zaman
SAHABATKU Fiddin, kita benar-benar hidup di akhir zaman. Ada dua hal yang menonjol di akhir zaman ini. Pertama, semua hal sdudah jadi paradoks. Kedua, neraca sudah terbalik.
Paradoks dapat kita lihat dalam banyak hal. Antara keyakinan/iman/niat dan amal perbuatan. Antara keinginan dan upaya. Antara doa dan ikhtiyar. Ingin masuk syurga, tapi keyakinan atau amal perbuatannya (keyakinan/amal) penghuni neraka.
Mengaku Tuhannya Allah, tapi menyekutukan-Nya dengan berbagai tuhan tandingan lainnya. Mengaku mencintai Allah dan Rasulullah, tapi durhaka atau tidak taat pada-Nya dan Rasul-Nya.
Mengaku Kitab Petunjuknya Al-Qur’an, tapi tidak dibaca, tidak dipahami dan tidak diamalkan.Mengaku beragama Islam, tapi jalan hidup yang tempuh jalan Yahudi atau agama lainnya, dan tak jarang pula ikut menyerang dan memarjinalkan Islam dan umatnya. Mengaku jadi Da’i (juru dakwah), tapi mengajak manusia ke neraka.
Mengaku muslim, tapi tidak shalat fardhu dan tidak juga mengamalkan kewajiban-kewajiban Islam lainnya. Mengaku mukmin, tapi ucapan dan perbuatannya menyakiti saudara Mukmin lainnya, dan bahkan membunuhnya tanpa jalan yang hak.
Demikian juga di akhir zaman ini neraca sudah terbalik. Yang hak bisa jadi batil. Yang batil bisa jadi hak. Yang halal sudah jadi haram. Yang haram sudah jadi halal. Yang baik bisa jadi buruk. Yang buruk sudah jadi kebaikan. Suami jadi istri. Istri jadi suami. Anak sudah jadi bos orang tua. Orang tua sudah jadi pembantu anak.
Di akhir zaman ini, kemuliaan tidak lagi didasari iman, ilmu dan taqwa, namun diukur dengan harta, pangkat, ketampanan maupun kecantikan dan jumlah pengikut. Yang kaya sudah jadi pelit. Yang miskin menjadi sombong. Yang berilmu sudah jadi tinggi diri. Yang bodoh merasa banyak ilmu.
Kaum cerdik pandai sudah jadi tukang tipu. Pemimpin atau penguasa sudah jadi raja dan tak jarang mengaku sebagai Tuhan, kendati tidak diucapkan sebagaimana Fir’aun dahulu, yang setiap saat harus ditaati, kendati bertentangan dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. Allahul musta’an.
Yaa Rabb, janganlah Engkau sesatkan hati kami setelah Engkau anugerahkan pada kami petunjuk-Mu dan anugerahkan pula pada kami dari sisi-Mu Rahmah (Kasih Sayang-Mu) serta berikanlah kepada kami kecerdasan dalam menjalankan kehidupan yang sementara ini.
***
Sumber: Islampos.com
Jujur
Posted in Bahasa Indonesia, Philosophy, Poem with tags Akhir Zaman, Akhirat, Jujur, Membusuk, Menghargai on March 27, 2015 by Yul Prince Vartan HyzharSegala sesuatu sedang berubah
Segala sesuatu sedang bergerak
Segala sesuatu sedang tumbuh
Dan segala sesuatu sedang membusuk
Ingatlah bahwa kita sedang hidup di zaman yang lebih menipu dari sebelumnya
Ingatlah bahwa kita sedang hidup di akhir zaman
Kita harus selalu jujur
Menjadi jujur tidak berari apapun
Kecuali itu adalah sebuah bukti bahwa
Kau sedang menghormati hidupmu
Kau sedang menghormati Allah, Yang Maha Pencipta
Kau menghargai umat manusia
Dan kau mengetahui dengan lebih baik apa balasan menjadi tidak jujur di akhirat
Memang, kita dapat mengekspresikan apa pun yang kita pikirkan
Namun jangan mempercayai semua hal yang kita pikirkan
Berhentilah memikirkan hidup di surga
Selama kita bertingkah seperti seorang pendosa
Berhentilah memikirkan tentang dunia khayalan
Selama kita masih tinggal di bumi
Karena dunia khayalan hanya ada dalam mimpi
Berhentilah memikirkan tentang berpikiran terbuka
Selama kita masih memiliki jiwa yang dangkal
Berhentilah memikirkan revolusi
Selama kita tidak mengetahui arti perjuangan itu sendiri
Berhentilah memikirkan kau dapat menjaga dirimu sendiri
Selama kita tidak bisa jujur kepada diri sendiri
Jujur tidak akan berarti apapun
Bahkan kau mungkin tidak akan memperoleh banyak teman
Namun itu akan selalu memberikanmu yang benar
…Insya Allah
Pada akhirnya kita akan menjadi akar lagi
Oleh karena itu hargailah kehidupan yang sedang kau miliki sekarang
Karena kita bahkan tidak akan mengetahui kapan dan dimana kita akan membusuk
***
Honest
Posted in Literary, Philosophy, Poem, Poetry, Psychology with tags Decay, Hereafter, Honest, Respect, The End of the World on March 27, 2015 by Yul Prince Vartan HyzharEverything is changing
Everything is moving
Everything is growing
And everything is decaying
Remember that we are living in the age of trickier world
Remember that we are living in the age of the end of the world
We must always be honest
Being honest doesn’t mean anything
Except it is a proof that
You are respecting your life
You are respecting Allah, Your Creator
You are respecting other mankind
And you know better what is the consequences of being dishonest in the hereafter life
Indeed, you can express everything you think
But do not believe everything you think
Stop thinking about living in the heaven
As long as you act like a sinner
Stop thinking about the fantasy world
As long as you are still living in the earth
Because the fantasy world only comes in a dream
Stop thinking open-minded
As long as you still have a shallow mind
Stop thinking about revolution
As long as you don’t know what is the meaning of the struggle
Stop thinking you can take yourself
As long as you can’t be honest to yourself
Being honest doesn’t mean anything
Even you may not get a lot of friends
But it will always get you the right ones
In the end we are going to be root again
That’s why please respect the life that you are living now
Because we don’t even know when and where will we be decay
***
Fun Time with My Family and Dangtuanku Express
Posted in Journey collection, Momentous Experience, Photos Gallery with tags Dangtuanku Train, Gondoriah Beach, Padang Pariaman, Pantai Gondoriah, Stasiun Tabing, West Sumatera Train on February 27, 2015 by Yul Prince Vartan HyzharAnother Chance
Posted in Literary, Poem, Poetry with tags Allah, Chance, future, gift, gratitude, past, presnt on February 17, 2015 by Yul Prince Vartan HyzharPast is past
Present is present
Future is future
Start everything with good aim
Never judge a book by its cover
This new page of life is a gift of Allah
Ask for Allah to overwhelm yourself with His blessing
Let’s be honest to ourself
This new page of life is a gift of Allah in order to give you another chance
… another chance to see this world widely
… not just in one point of view
… but many point of view before making conclusion
So you don’t repeat your sins again, again, and again…
Past is past
Present is present
Future is future
O Allah, please always guide this little servant
… to gratitude to You…
… Aamiin.